Senin, 12 Januari 2009

Perkembangan Pemikiran Hukum Adat sebagai Pembentuk Hukum Nasional

Pembentukan hukum dimulai pada masa kolonial, pada masa ini keinginan untuk menjadikan hukum adat sebagai konsep hukum nasional sangat kuat. Hal ini disebabkan oleh penderitaan akibat penjajahan Belanda yang menimbulkan rasa nasionalisme di masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar, “mampukah hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan”. Mengenai hal ini ada pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini, apakah kita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan terhadap rasa nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.

Dalam pandangan hukum murni memang relevan untuk dijadikan dasar dalam pembentukan bangsa, tetapi khusus pada penduduk pribumi atau desa. Sedangkan pada masyarakat moderen, hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar berpijak, sebab hukum adat sulit untuk bisa menerima kemajuan-kemajuan disamping sulit untuk diterima oleh dunia internasional, karena hukum yang digunakan oleh dunia internasional adalah hukum yang berasal dari barat.

Dalam pandangan pukum modern, untuk pembangunan nasional, memang hukum itu harus berorientasi kepada kepentingan bangsa, namun hukum yang dicita – citakan itu haruslah setara dengan hukum bangsa lain. Pengalaman bahwa dalam hubungan hukum dengan dunia luar, tetap digunakan hukum barat.

Perkembangan Di Era 1959 – 1966, ersoalan yang dihadapi tetap sama yaitu persoalan dalam menentukan hukum apa yang akan digunakan dalam rangka pembentukan hukum nasional. Ada peristiwa yang relevan untuk dikaji dalam rangka pembentukan hukum dikade tersebut. Salah satu peristiwa tersebut adalah pembebasan Irian Barat yang berpengaruh dalam menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini juga berimbas terhadap hukum, ada rasa kebencian terhadap sesuatu yang bersumber dari barat termasuk hukumnya, sehingga issu hukum adat tetap kuat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Keadaan ini ditambah pula dengan pernyataan Sukarno tanggal 5 Juli 1956 yang menyatakan “Revolusi Belum Selesai”.

Pada awal tahun 1960, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu :

1. Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan “Hukum adatlah yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan hukum nasional”.

2. Dikeluarkan pula UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang berbunyi :

“ Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”

3. Kemudian diaktifkannya kembali LPHN tahun 1961 (LPHN dibentuk tahun 1958).Tugas LPHN yaitu “Berupaya untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang bersumber dari hukum adat, namun tetap mengarahkan para upaya pemodernan hukum, agar dapat diterima oleh dunia internasional”.

Pada masa orde baru yang menjadi prioritas adalah pembangunan sektor ekonomi. Rule of law dijalankan namun dengan satu tujuan yaitu untuk peningkatan ekonomi semata – mata. Prinsip yang berkembang adalah “ekonomi Indonesia tidak akan bangkit tanpa bantuan asing”. Asing tidak akan mau menanamkan modal di Indonesia, jika tidak dijamin oleh sektor hukum. Akibatnya hukum harus benar-benar dijalankan. Sehingga muncul istilah “tool of social enginering”.

Hal ini tentu berpengaruh pada hukum yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi tersebut, maka hukum harus sesuai dengan asing, secara otomatis hukum yang dijadikan sumber adalah hukum barat, namun hukum adat tetap digunakan bersama – sama dengan hukum barat. Di era itu hukum banyak yang bersumber dari barat yang masuk ke Indonesia. Misalnya lembaga – lembaga hukum yang bersumber dari Amerika yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum adat. Peristiwa yang menonjol pada waktu itu adalah dikeluarkannya Tap MPR No. XX/1966 Tentang hirarki perundang-undangan dan sumber tertib hukum. Dari produk hukum di atas, terlihat bahwa peran eksekutif terlihat lebih menonjol dari legislatif.

Kemudian berlanjut pada era reformasi, di era ini timbul keinginan untuk meninggalkan rasa kejenuhan yang selama ini telah diciptakan. Khusus dibidang hukum rasa kejenuhan itu adalah kejenuhan terhadap produk hukum yang sumbernya dari atas (Top Down), sehingga ada keinginan hukum itu bersumber dari bawah (Bottom Up). Kemudian adanya keinginan untuk perubahan secara cepat dan dapat diberlakukan seketika, temasuk dibidang hukum. Akibatnya, hukum yang diciptakan bersifat pragmatis (hanya untuk kepentingan sesaat) dan bukan dogmatis.

Pada era reformasi ini telah terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaan dengan hukum adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28i ayat 3 UUD 1945 amandemen kedua dan belum mengalami perubahan hingga amandemen keempat. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.

MK juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut :

1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;

2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

MK kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pemikiran mengenai peranan hukum adat dalam pembentukan hukum nasional sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat diaplikasikan dalam bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di awal tahun 1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum adat sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan lagi hak-hak masyarakat adat yang sudah terabaikan.

Emile Durkheim : Perkembangan Hukuman

Perkembangan Hukuman
Emile Durkheim

Perubahan Kuantitatif dari Hukum[an]
Hukum dari perubahan kuantitatif dapat dirumuskan sebagai berikut : “Intensitas dari hukuman lebih besar yang berada dekat dengan masyarakat ke bentuk keterbelakangan – dan lebih lanjut kekuatan pusat menunjukkan ciri yang absolut”.

Kekuasan pemerintah menjadi absolut ketika dihadapkan pada fungsi sosial lain, tidak ada yang dapat mengimbangi dan membatasi kekuasaan tersebut dengan efektif. Adat istiadat dan agama adalah sarana untuk membatasi kekuasaan yang paling absolut sekalipun.


Perkembangan hukuman disebabkan oleh dua hal, yaitu : dibentuk oleh masyarakat secara alami dan dilakukan oleh alat pemerintahan. Namun dua hal ini terkadang bertentangan, misalnya untuk mengubah dari masyarakat primitif menuju masyarakat modern, tidak terlihat adanya pengurangan hukuman seperti yang diharapkan, sebab alat pemerintahan pada saat yang sama bertindak sebagai penetralisir efek kelompok masyarakat. Proses inilah yang sangat rumit.


Pada sebagian besar masyarakat kuno, kematian secara wajar bukanlah merupakan hukuman tertinggi, yang paling menakutkan apabila kematian tersebut disertai dengan penyiksaan. Pelaku kejahatan dihukum dengan segala jenis penyiksaan yang sadis hingga ia mati. Hal ini terjadi di Mesir, Siria, Manu, Yahudi, Israel, Atena, Roma, banyak suku bangsa lain.

Berkembangnya pemerintahan menjadi kerajaan dengan kekuasaan yang cenderung absolut malah menjadikan hukum menjadi lebih sadis. Kejahatan besar mulai berkembang, dan kejahatan tersebut dihukum dengan hukuman mati yang dilaksanakan lebih kejam. Puncak monarki absolut bertepatan dengan masa penindasan terbesar. Pada abad ke-17 hukuman mati mulai diperhitungkan, selain itu hukuman baru yang lebih mengerikan diterapkan. Penyiksaan tersebut dipakai tidak hanya sebagai alat informasi, tetapi juga sebagai alat untuk menghukum. Pada waktu yang sama, kejahatan meningkat, sebab kejahatan berkedok keagungan bertambah.

Perubahan Kulalitatif dari Hukum[an]
Aspek lain dalam penerapan hukuman selain aspek kuantitatif adalah aspek kualitatif. Aspek kualitatif dirumuskan sebagai berikut : “Perampasan kebebasan dan kebebasan itu sendiri, bermacam-macam dari waktu-kewaktu menurut tingkat keseriusan kejahatan tersebut, cenderung semakin menjadi alat yang normal untuk kontrol sosial”

Masyarakat primitif hampir seluruhnya kekurangan penjara. Raja membuat penjara di jalan-jalan umum dengan tujuan membuat pelaku kejahatan malu. Beban moral atas kejahatan yang dilakukannya dirasa lebih menjadi suatu kekerasan terhadap si penjahat yang dijatuhi hukuman penjara.


Konsep hukuman penjara yang dahulunya tidak dikenal, baru muncul dalam Kitab Ezra. Penjara awalnya tidak lebih hanyalah sebagai tempat pencegahan kejahatan. Lama kelamaan penjara menjadi tempat hukuman namun jarang dipakai kecuali untuk bangsa Slavia, para tentara dan aktor-aktor.


Hanya pada masyarakat Kristiani penjara telah berkembang secara utuh. Gereja, sejak awal menentukan penangkapan sementara waktu atau tinggal dalam biara bagi beberapa penjahat. Awalnya ini semua hanya unutk pengawasan tetapi kemudian menjadi penahanan, yang disetujui sebagai bentuk hukuman yang sebenarnya. Hukuman maksimum yaitu dimasukkan ke dalam sel sunyi bertembok permanen, sebagai tanda bahwa hukuman tidak bisa dibatalkan.


Di abad ke 18, para kriminolog menyetujui untuk mengakui hukuman penjara sebagai salah satu bentuk hukuman pada keadaan tertentu yaitu untuk menggantikan hukuman mati. Setiap kejahatan didahului dengan investigasi yang sah sebelum dijatuhi hukuman. Pandangan hukum tahun 1791 ini menjadi dasar sistem kendali selain hukuman mati dan tiang gantungan, terdiri atas tidak lebih dari berbagai jenis hukuman penjara. Meskipun demikian, hukuman penjara dengan sendirinya tidak dipertimbangkan sebagai suatu hukuman tetapi hanya sebagai suatu perampasan kekebasan individu.


Penjelasan Mengenai Hukum Kedua

Bentuk hukuman menjadi bervariasi seiring berjalannya waktu, dan kita perlu mengetaui sebab-sebab terjadinya perubahan tersebut.
Konsep hukuman penjara pada awalnya dianggap memiliki fungsi yang berguna untuk masyarakat, oleh karena itu masyarakat memiliki gagasan untuk mendirikannya. Namun pada kenyataannya perkembangan ini mensyaratkan keadaan yang berbeda. Apabila berkaitan dengan wilayah militer, penjara dijadikan alat pencegahan komunikasi dengan pihak luar. Hal ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat primitif.

Hukuman penjara merupakan penahanan uji coba. Namun, bila penjara telah didirikan maka dengan cepat membentuk suatu karakter yang represif setidaknya secara parsial. Faktanya, semua yang dipenjara adalah tersangka dari tindak kejahatan yang serius. Dan mereka harus menjalani cara hidup yang tidak menyenangkan yang merupakan suau bentuk hukuman, bukan lagi uji coba penahanan.


Hukuman penjara pada awalnya merupakan bentuk hukuman pada skala terendah karena sebenarnya tidak ada wujud hukuman sama sekali, namun keadaan berubah menjadi kondisi hukuman yang sebenarnya. Bentuk hukuman tersebut merupakan pengganti dari hukuman-hukuman lain yang mulai mengabur. Hukuman tersebut dikurangi hingga menjadi bentuk yang paling sederhana guna merampas kebebasan berkenaan dengan lamanya masa perampasa kekebasannya.


Oleh sebab itu, perubahan kualitatif pada hukuman sebagian bergantung pada perubahan kuantitatif yang terus terjadi. Dengan kata lain, dari kedua hukum yang telah ditetapkan, hukum pertama memberikan kontribusi terhadap penjelasan hukum kedua.


Penjelasan Hukum Pertama
Ketika suatu masyarakat beranjak dari masyarakat primitif menuju bentuk masyarakat modern, terdapat ciri-ciri pemerintahan yang absolut dalam penerapan hukuman dalam masyarakatnya.

Emile membedakan kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat dalam dua kategori :

1. Kejahatan terhadap agama/adat istiadat yaitu segala sesuatu yang menentang hal-hal yang bersifat kolektif (baik ideal maupun material) yang pada prinsipnya menentang kebijakan publik dan perwakilannya, adat istiadat, tradisi dan agama;
2. Kejahatan terhadap manusia/individu lain, yaitu segala sesuatu yang sifatnya hanya merugikan individu (pembunuhan, pencurian, tindak kekerasan, dan segala jenis penipuan).

Dalam masyarakat sederhana hampir sebagian besar tindak kejahatan merupakan bentuk kejahatan terhadap agama/adat istiadat. Sedangkan dalam masyarakat modern, tindak kejahatan yang lebih banyak terjadi adalah kejahatan yang merugikan manusia/individu lain.

Kedua bentuk tindak kejahatan ini sangatlah berbeda karena perasaan kolektif yang menjadi pemicu tidaklah sama. Sebagai hasilnya terjadi bentuk penahanan yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya.

Hukuman yang ada sekarang masih sedikit lebih kasar dibandingkan dua atau tiga abad lalu. Namun, bagaimanapun juga sudah menjadi sifat alami manakala suatu tindak kejahatan akan dijatuhi hukuman. Efek yang ditimbulkan oleh suatu hukuman pun sejak awal telah terlihat sejalan dengan tindak kejahatan yang dikenali. Hukuman sebaiknya segera diberikan seketika daripada memberikan keringanan secara progresif.


Baik kejahatan terhadap agama maupun kejahatan terhadap individu terjadi dalam bentuk yang sama. Tapi dalam hal perkembangan, kedua bentuk kejahatan ini berbeda, pada saat kejahatan terhadap individu bertambah, maka kejahatan terhadap agama berkurang. Moralitas manusia mulai membentuk karakter yang mau mengakui kesalahan.


Perubahan besar terhadap moralitas masyarakat ini menyebabkan transformasi besar-besaran terhadap hukuman. Hukum cenderung menjadi lebih manusiawi dan menyebabkan tersisanya banyak ruang kosong bagi spontanitas individu, apabila ini terjadi maka hukuman perlu diterapkan secara tegas.


Sifat dasar struktur pemerintahan juga menjadi penyebab perubahan hukuman. Kekuasaan absolut membuat seseorang yang berkuasa menjadi manusia yang luar biasa. Hampir keseluruhan hukum berasal dari keinginan penguasa, sehingga pelanggaran prinsipil terhadap hukum diartikan sebagai upaya melawan penguasa. Pemerintahan terpusat pada kekuasaan ini membuat pemerintahan menjadi semakin kuat. Bagi siapapun yang menyerang kekuasaan akan dijahuti hukuman yang lebih keras. Ketika kejahatan meningkat, maka intensitas hukuman yang dijatuhkan akan secara luar biasa ditingkatkan.